cerita ini saya baca dari facebook note nya temen saya,
i'm crying after read this
Encouraging Story 1 (Kisah Pengorbanan Seorang Adik)
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari
demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung
mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih
muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana
semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, aku mencuri lima
puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat
adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu
ditangannya. “Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!”
Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya!”Tongkat
panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu
marahnya sehingga ia terus-menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan
nafas.
Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi,“Kamu
sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang
akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati!
Kamu pencuri tidak tahu malu!” Malam itu, ibu dan aku memeluk
adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak
menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya
tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan
tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”
Aku
masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian
untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut
masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang
adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku
berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di
SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang
sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam
itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus
demi bungkus.
Saya mendengarnya memberengut, “Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik… hasil yang begitu baik…” Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?” Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, “Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku.” Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. “Mengapa
kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti
saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua
sampai selesai!” Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di
dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang
aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.”
Aku,
sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke
universitas.Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku
meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit
kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan
meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: “Kak, masuk ke universitas
tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimimu uang.”
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan
air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17
tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan
uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di
lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).
Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, “Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!“ Mengapa
ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat
adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir.
Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?” Dia menjawab, tersenyum, “Lihat
bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu
saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?”Aku
merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu
dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku,“Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu…” Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, “Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.” Aku
tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam
pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.
Kali
pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah
diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku
menari seperti gadis kecil di depan ibuku. “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!”
Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu
adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah
kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca
jendela baru itu..” Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku.
Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku
mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. “Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya. “Tidak,
tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi,
batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak
menghentikanku bekerja dan…” Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.
Tahun
itu, adikku 23. Aku berusia 26. Ketika aku menikah, aku tinggal di
kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang
dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka
mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus
mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, “Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini.” Suamiku
menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan
pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku
menolak tawaran tersebut.
Ia bersikeras memulai bekerja
sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku di atas sebuah tangga untuk
memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan
masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips
putih pada kakinya, saya menggerutu,“Mengapa kamu menolak menjadi
manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang
berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius.
Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya.“Pikirkan
kakak ipar–ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak
berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa
yang akan dikirimkan?” Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah, “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”
“Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku
menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29. Adikku
kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun
itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya
kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, “Kakakku.”Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. “Ketika
saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari
kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan
pulang ke rumah. Suatu hari, saya kehilangan satu dari sarung tanganku.
Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja
dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu
gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang
sendoknya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup,
saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya.”
Tepuk
tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya
kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku,“Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.” Dan
dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan
perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
Bisakah
kita memiliki jiwa besar seperti si adik yang seperti dalam cerita, …
tapi bagaimanapun, yang namanya Saudara patut kita jaga dan kita
hormati, apakah itu seorang adik atau seorang kakak. Karena apa arti
hidup kalau tidak bisa membahagiakan sodara dan keluarga kita.[http://archive.kaskus.us/thread/3944310/]
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Komentar
saya pun terharu dan dalam hati ini ada rasa sembab mendalam
mengharukan...
dan hubungan kakak adik begitu dekat ya...
that;s so sweeet...